RESEARCH – Tasya Natalia, CNBC Indonesia | 04 February 2024 09:30
Jakarta, CNBC Indonesia – Harga batu bara akhirnya mulai menghijau terdorong seasonality event libur Imlek. Namun, harga masih belum bisa bangkit ke atas level US$ 120 per ton, lantaran masih menghadapi sejumlah tantangan dari kelebihan pasokan hingga lemahnya permintaan dari China.
Melansir data Refinitiv, hingga Jumat (2/1/2024) harga acuan batu bara ICE Newscastle kontrak Maret ditutup di harga US$ 119,9 per ton, menguat 2,48% secara harian.
Apresiasi tersebut kemudian menghapus koreksi harga batu bara yang terjadi pada awal pekan ini, Senin (29/1/2024) di mana sempat anjlok nyaris 3% ke posisi US$ 115,5 per ton. Ini merupakan posisi terendah sejak 4 Juni 2021 yang sebelumnya mencapai US$ 110,25 per ton.
Rebound pada akhir pekan tersebut selanjutnya menjadi daya ungkit mengakumulasi penguatan secara mingguan sebesar 0,76%. Ini menjadi apresiasi yang pertama kali sejak tergelincir ke zona merah selama delapan pekan terakhir.
Rebound harga batu bara disinyalir berkat efek Chinese New Year (CNY) atau libur tahun baru Imlek yang akan dirayakan sebentar lagi. Ini akan membuat sejumlah perusahaan tambang menghentikan operasional yang membuat pasokan akan menyusut dalam jangka pendek.
Melansir dari laman Mysteel menyatakan ada ratusan tambang batu bara kokas di Tiongkok akan menghentikan operasinya untuk merayakan libur Tahun Baru Imlek pada tanggal 10-17 Februari.
Survei dilakukan terhadap operator 523 tambang batu bara kokas di China yang memiliki kapasitas produksi total 820 juta ton/tahun. Hasilnya, menemukan ada 391 tambang atau sekitar 75% dari tambang sampel yang memiliki kapasitas produksi sebesar 610 juta ton/tahun. Untuk periode liburnya diketahui dalam periode berbeda-beda tetapi masih di masa festival musim semi.
Penutupan tambang batu bara potensi bisa meningkatkan harga karena produksi berkurang. Namun, kemungkinan besar itu hanya bertahan dalam jangka pendek. Sejumlah risiko masih dihadapi industri energi fosil ini seperti pasokan yang berlebih hingga lemahnya permintaan dari China.
Pasokan yang berlebih terjadi imbas dari musim dingin yang tak kunjung mencapai level terendahnya, sementara musim akan kembali bergulir ke suhu yang lebih hangat yang membuat kebutuhan pemanas tak sesuai ekspektasi.
Kondisi suplai yang berlimpah ini juga masih disertai dengan permintaan lemah dari China akibat kondisi manufaktur yang terkontraksi dan deflasi yang berlarut-larut. Dampaknya harga batu bara potensi masih berlanjut dalam tren pelemahan.
Lembaga riset BMI dari Fitch Solutions pun menurunkan perkiraan harga batu bara Newcastle pada 2024. “Kami menurunkan perkiraan harga batu bara Newcastle untuk tahun 2024 dari rata-rata tahunan US$170 per ton (6.000kcal/kg) menjadi US$150 per ton.”
CNBC INDONESIA RESEARCH
(tsn/tsn)